BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manajemen
strategik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu manajemen. Hadir
sebagai suatu solusi untuk memberdayakan keseluruhan organisasi (perusahaan)
agar secara komprehensif dan sistematis mampu mewujudkan visi dan misi
organisasi tersebut.
Selama
bertahun-tahun beragam konsep dan teori yang menjelaskan strategi dikembangkan.
Mulai dari yang menekankan perhatian pada kemampuan organisasi untuk
memaksimalkan sumber-sumber yang dimilikinya dalam menjawab peluang dan
tantangan serta berbagai ketidakpastian yang berasal dari luar organisasi (Porter,
1985), sampai pada kajian yang menekankan pada kemampuan sumber-sumber
internal organisasi untuk mendorong terjadinya keunggulan kompetitif (competitive
advantages) (Grant, 1991). Namun demikian, terlepas dari perdebatan
tentang sudut pandang perencanaan strategis suatu organisasi, kedua aliran
jelas memiliki tujuan yang sama yaitu tercapainya sasaran dan tujuan organisasi
melalui cara-cara yang sistematis sehingga keberhasilan yang mungkin terjadi
dapat ditelusuri kembali.
Manajemen strategis adalah proses untuk membantu
organisasi dalam mengidentifikasi apa yang ingin mereka capai, dan bagaimana
seharusnya mereka mencapai hasil yang bernilai. Besarnya peranan manajemen
strategis semakin banyak diakui pada masa-masa ini dibanding masa-masa
sebelumnya. Dalam perekonomian global yang memungkinkan pergerakan barang dan
jasa secara bebas diantara berbagai negara, perusahaan-perusahaan terus
ditantang untuk semakin kompetitif. Banyak dari perusahaan yang telah
meningkatkan tingkat kompetisinya ini menawarkan produk kepada konsumen dengan
nilai yang lebih tinggi, dan hal ini sering menghasilkan laba diatas rata-rata.
BAB 11
PRINSIP DAN LANGKAH PENGEMBANGAN
MANAJEMEN STRATEGIK
A. Pengertian Manajemen Stratejik
Menurut Hunger dan Wheelen, manajemen strategik adalah seperangkat keputusan serta tindakan
manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang dari suatu organisasi
(perusahaan) (Hunger dan Wheelen, 1996). Bagi Fred David, manajemen strategik adalah seni dan
ilmu penyusunan, penerapan dan pengevaluasian keputusan-keputusan lintas fungsi
(cross-functional) yang memberdayakan suatu organisasi untuk mencapai
tujuannya. Oleh karenanya manajemen strategik berpusat pada penyatuan
manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, riset dan
pengembangan, serta sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan
organisasi (David, 1996). Sedangkan Proses Manajemen Strategik oleh Hitt, Ireland, dan Hoskisson (Hitt,
Ireland, Hoskisson, 1995) dimengerti sebagai seperangkat komitmen,
keputusan, dan tindakan yang dibutuhkan suatu perusahaan untuk mencapai
persaingan strategik dan memperoleh keuntungan di atas rata-rata.
Alfred Chandler mengatakan bahwa strategi adalah suatu penentuan sasaran dan tujuan dasar
jangka panjang dari suatu organisasi (perusahaan) serta pengadopsian
seperangkat tindakan serta alokasi sumber-sumber yang perlu untuk mencapai
sasaran-sasaran tersebut [Rumelt, Schendel, dan Teece, 1995]. Dalam
kajiannya tentang strategi, Henry Mintzberg mencatat bahwa setidaknya strategi
tidak sekadar memiliki dua elemen
definisi, yaitu sebagai perencanaan (plan) dan pola (pattern).
Lebih dalam lagi, ia mengungkap bahwa definisi strategi telah berkembang dengan
tiga ‘P’ baru, yaitu posisi (position), perspektif (perspective),
dan penerapan (ploy) (bandingkan Mintzberg, 1994b dan Mintzberg,
Ahlstrand, dan Lampel, 1998).
Kajian tentang manajemen strategik yang terus berkembang
selalu diarahkan untuk menghasilkan berbagai pendekatan yang memudahkan
organisasi untuk melakukan penyesuaian strategi yang dipilihnya dalam kerangka
menjamin keberhasilan usahanya. Dalam lingkungan bisnis yang semakin dinamis,
bagaimanapun juga organisasi harus sanggup secara konstan menghadapi perubahan
yang demikian cepat (Rainer dan Chaharbaghi, 1995). Formulasi strategi
harus berupa proses kognitif dibanding proses konsepsi semata. Dalam kerangka
inilah pembelajaran organisasi menjadi fokus perhatian utama riset dan
kemampuan belajar diakui sebagai satu-satunya sumber keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan (sustainable competitive advantage) (Nonaka, 1991).
Merangkum seluruh paparan di atas, Henry Mintzberg, Bruce
Ahlstrand, dan Joseph Lampel mengidentifikasikan bahwa formulasi strategi dapat
dikelompokkan ke dalam sepuluh aliran
pemikiran dan tiga kelompok
pemikiran. Kesepuluh aliran tersebut adalah: Design, Planning,
Positioning, Entrepreneurial, Cognitive, Learning, Power, Cultural,
Environmental, dan Configuration. Tiga aliran pertama masuk ke dalam
kelompok Presikriptif yang lebih
menekankan pada proses penyusunan strategi; enam aliran berikutnya masuk dalam
kelompok Deskriptif yang
menekankan pada bagaimana strategi dilakukan; dan aliran terakhir identik
dengan kelompok ketiga, yaitu Konfigurasi
yang mengkombinasikan/ mengintegrasikan aliran-aliran sebelumnya.(Mintzberg,
Ahlstrand, dan Lampel, 1998).
B.
Prinsip Manajemen Stratejik
Pada prinsipnya, manajemen strategik terdiri
atas tiga tahapan, yaitu:
1. Tahap Formulasi: meliputi pembuatan misi, pengidentifikasian
peluang dan tantangan eksternal organisasi, penentuan kekuatan dan kelemahan
internal, pembuatan sasaran jangka panjang, pembuatan pilihan-pilihan strategi,
serta pengambilan keputusan strategi yang dipilih untuk diterapkan. Dalam hal
penyusunan strategi, Fred R. David membagi proses ke dalam tiga tahapan
aktivitas, yaitu: input stage, matching stage, dan decision stage.(David,
1996). Termasuk di dalam formulasi strategi adalah pembahasan tentang
bisnis baru yang akan dimasuki, bisnis yang dihentikan, alokasi sumber-sumber
yang dimiliki, apakah akan melakukan ekspansi atau diversifikasi usaha, apakah
akan memasuki pasar internasional, apakah akan melakukan merjer atau membentuk joint-venture,
serta bagaimana untuk menghindari pangambilalihan secara paksa (hostile
takeover).
2. Tahap Implementasi (biasa juga disebut tahap tindakan): meliputi
penentuan sasaran tahunan, pengelolaan kebijakan, pemotivasian pegawai,
pengalokasian sumber-sumber agar strategi yang diformulasikan dapat
dilaksanakan. Termasuk di dalamnya adalah pengembangan kultur yang mendukung
strategi, penciptaan struktur organisasi yang efektif, pengarahan usaha-usaha
pemasaran, penyiapan anggaran, pengembangan dan pemanfaatan sistem informasi,
serta mengkaitkan kompensasi pegawai dengan kinerja organisasi.(bandingkan
dengan Senge, 1994). Pada tahap ini, ketrampilan interpersonal sangatlah
berperan. Sebagaimana Carl von Clausewitz (1780-1831) dalam bukunya yang
diterbitkan kembali On War, strategi bukanlah sekedar aktivitas problem-solving,
tetapi lebih dari itu strategi bersifat terbuka (open-ended) dan kreatif
untuk mempertajam masa depan dalam model chain of command di mana suatu
strategi harus dijalankan setepat mungkin (menghindari bias-bias yang tidak
perlu dalam setiap bagian struktur organisasi).
3. Tahap Evaluasi: meliputi kegiatan
mencermati apakah strategi berjalan dengan baik atau tidak. Hal ini dibutuhkan
untuk memenuhi prinsip bahwa strategi perusahaan haruslah secara terus-menerus disesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang selalu terjadi di lingkungan eksternal maupun
internal. Tiga kegiatan utama pada tahap ini adalah: (a) menganalisa faktor-faktor
eksternal dan internal sebagai basis strategi yang sedang berjalan; (b)
pengukuran kinerja; (c) pengambilan tindakan perbaikan (bandingkan dengan
Kaplan dan Norton, 1996).
Manajemen strategis bukan hanya sebuah mata kuliah yang
diajarkan di sebagian besar jurusan bisnis di banyak perguruan tinggi. Ini
merupakan sebuah metode yang digunakan entrepreneur atau pemilik bisnis untuk
merencanakan dan melaksanakan keberhasilan bisnisnya. Kelas manajemen strategis
meliputi konsepsi dan penggunaan pemasaran, pengaturan pegawai, outsourcing,
program sosial kepedulian masyarakat, dan banyak faktor lainnya yang
menjadi bagian dari pengelolaan bisnis dengan baik.
1. Visi
Satu prinsip manajemen strategis ialah menciptakan dan menjaga visi
perusahaan. Visi ini termasuk harapan bagi tempat perusahaan di pasar dalam
jangka pendek dan jangka panjang, begitu juga dengan peran apa yang diambil
perusahaan dalam masyarakat atau bahkan dalam bangsa. Menjaga visi bisnis
Anda dalam benak akan menentukan bagaimana Anda mengatur aspek lainnya dalam
perusahaan.
2. Metode-metode untuk Meraih Visi
Setelah Anda memiliki visi dalam
perusahaan Anda, Anda harus menemukan cara untuk mencapainya. Ini termasuk
memperkenalkan perusahaan terhadap sebanyak-banyaknya orang, mendorong
penjualan, mempertahankan pelanggan atau membangun lokasi atau waralaba lain.
Menemukan sebuah metode yang tepat dan cocok untuk bisnis Anda ialah sebuah
aspek sukar dalam manajemen strategis. Mudah untuk mengetahui apa yang Anda
inginkan, tetapi sangat sulit untuk tahu bagaimana cara mewujudkan keinginan
tersebut. Metode-metode yang bisa digunakan yaitu perubahan personil,
outsourcing, pemasaran dan periklanan, dan investasi.
3. Pelaksanaan Metode
Manajemen strategis tidak
hanya meliputi perencanaan dan curah gagasan tetapi juga melaksanakan ide-ide
dan metode yang telah Anda miliki. Prinsip pelaksanaan manajemen
strategis melibatkan realisasi ide-ide tersebut ke dalam dunia bisnis dan
membuatnya bekerja untuk perusahaan Anda. Misalnya, setelah Anda memutuskan
metode terbaik yang akan Anda gunakan untuk mendorong penjualan dalam bisnis
Anda, contohnya iklan atau rencana pemasaran, manajemen yang baik juga
membutuhkan pelaksanaan rencana tersebut. Hal ini bisa menjadi sebuah prinsip
yang sulit karena sering membutuhkan investasi modal atau perubahan dalam
perusahaan.
4. Menyesuaikan Visi
Prinsip manajemen strategis
lainnya ialah menyesuaikan visi dengan keadaan yang ada di sekeliling
bisnis Anda. Karena kondisi pasar dapat mempengaruhi bisnis Anda, dipandang
perlu untuk menyesuaikan visi. Sama halnya dengan kondisi pasar, teknologi juga
selalu berubah. Bisnis Anda membutuhkan sebuah penyesuaian yang berkala agar
perusahaan tetap dapat bersaing di pasar di mana ia bergerak
Terlepas dari pendekatan perencanaan yang
digunakan, formulasi strategi harus berlandaskan pada pemahaman secara mendalam
pada pasar, kompetisi, dan lingkungan eksternal. Strategi hadir dalam berbagai
bentuk. Namun demikian, strategi akan mengidentifikasi tipe-tipe barang dan
jasa yang akan dijual, sumber-sumber dan teknologi yang digunakan dalam proses
produksinya, metoda koordinasi usaha-usaha dan rencana-rencana untuk digunakan
untuk menghasilkan kinerja yang efisien dan efektif, serta tipe-tipe aktivitas
yang diambil. Richard P. Rumelt mengidentifikasi empat tolok ukur yang digunakan
untuk menguji baik atau tidaknya suatu strategi, yaitu (Rumelt, 1997):
1. Consistency: strategi tidak boleh menghadirkan sasaran dan
kebijakan yang tidak konsisten.
2. Consonance: strategi harus merepresentasikan respons
adaptif terhadap lingkungan eksternal dan terhadap perubahan-perubahan penting
yang mungkin terjadi.
3.
Advantage: strategi harus memberikan peluang bagi
terjadinya pembuatan atau pemeliharaan keunggulan kompetitif dalam suatu
wilayah aktivitas tertentu (terpilih).
4.
Feasibility: strategi tidak boleh menggunakan sumber-sumber
secara berlebihan (di luar kemampuan) dan tidak boleh menghadirkan
persoalan-persoalan baru yang tidak terpecahkan.
C.
Kegagalan Strategi
Andrew Campbell dan Marcus Alexander mengidentifikasi
sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan mengapa suatu strategi dapat gagal
dalam mengantar suatu perusahaan untuk mencapai sasaran dan tujuannya. Ketiga
hal tersebut adalah (Campbell dan Alexander, 1997):
1. Strategi Tanpa Arah (directionless strategies): kegagalan membedakan
antara purposes (apa yang akan dilakukan organisasi) dan constraints
(apa yang harus dilakukan suatu organisasi agar dapat bertahan). Perusahaan
yang gagal memahami constraints yang dimilikinya dan salah membacanya
sebagai maksud purposes, akan cenderung terlempar dari arena bisnis.
2. Kelumpuhan Perencanaan (planning paralysis): kegagalan menentukan
pijakan awal untuk bergerak (dari strategi atau tujuan?) menyebabkan terjadinya
rencana yang ‘lumpuh’ akibat kebingungan terhadap pelibatan ‘proses’ dalam
penyusunan suatu strategi. Menentukan tujuan dan kemudian menyusun strategi
untuk mencapainya ataukah meniru strategi yang telah terbukti berhasil dan
kemudian menentukan tujuan yang dapat/ingin dicapai berdasarkan strategi
tersebut.
3. Terlalu Fokus pada Proses (good strategy vs planning process): Seringkali
manajer berharap untuk dapat menyusun suatu strategi yang baru dan lebih baik.
Sayangnya keberhasilan seringkali tidak semata bergantung pada proses
perencaaan yang baru atau rencana yang didesain dengan lebih baik, tetapi lebih
kepada kesanggupan manajer untuk memahami dua hal mendasar, yaitu: keuntungan
atas dimilikinya maksud (purposes) yang stabil dan terartikulasi dengan
baik; serta pentingnya penemuan, pemahaman, pendokumentasian, dan eksploitasi
informasi-informasi penting (insights) tentang bagaimana menciptakan
nilai lebih banyak dibanding perusahaan lain.
Bandingkan temuan Campbell dan Alexander
tersebut dengan apa yang diungkapkan Henry Mintzberg dalam tulisannya di
Harvard Business Review (1994a) yang mengungkapkan bahwa perencanaan strategik
(strategic planning) memiliki suatu potensi kegagalan besar. Kegagalan
tersebut adalah keyakinan bahwa analisa akan menuju pada sintesa dan
perencanaan strategik adalah pembuatan strategi (strategy making). Pada
dasarnya, kegagalan ini disebabkan oleh tiga kesalahan mendasar pada asumsi,
yaitu (Mintzberg, 1994a):
1. Fallacy of Prediction: tidak setiap hal dapat
begitu saja diprediksi, kecuali hal-hal yang memiliki pola berulang (repetitive
pattern) seperti musim. Sedangkan hal-hal lainnya seperti penemuan
teknologi dan peningkatan harga hampir tidak mungkin diduga secara relatif
akurat, kecuali oleh para visioner yang biasa membangun strateginya secara
personal dan intuitif. (bandingkan Ansoff, 1965).
2. Fallacy of Detachment: seringkali manajer
dipisahkan dari persoalan detil dan operasional, sesuatu yang seharusnya mereka
kenal dengan baik. Ketika manajer terjauhkan dari hal-hal mendasar tersebut,
manajer akan gagal memahami keseluruhan proses dan mengingkari konsep Frederick
Taylor tentang manajemen bahwa proses harus sepenuhnya dipahami sebelum
diprogram (lihat Jelinek, 1979).
3. Fallacy of Formalization: kegagalan perencanaan
strategik adalah kegagalan sistem untuk bekerja lebih baik daripada manusia.
Sistem formal atau mekanikal seringkali gagal mengimbangi informasi yang
berkembang dalam otak manusia. Sistem memang sanggup mengelola informasi yang
lebih banyak, tetapi tidak sanggup menginternalisasikan, mencernanya, dan
mensintesanya. Formalisasi merujuk pada tata urutan yang rasional, tetapi
pembuatan strategi adalah proses pembelajaran yang terus bergerak. Formalisasi
akan gagal mencerna sesuatu yang tidak kontinu dan baru. Dan oleh karenanya
pemahaman tentang perencanaan strategik (strategic planning) harus bisa
dibedakan dari pemahaman tentang pembuatan strategi (strategy making).
Keduanya tidak bisa dianggap sama.
D.
Segitiga Strategi
Salah satu hal terpenting yang perlu
diperhatikan secara terus-menerus oleh para ahli strategi adalah segitiga
strategi-struktur-kultur. Dalam segitiga ini hubungan ketiga elemen tersebut
harus dapat dikelola sedemikian rupa agar menjadi seimbang antara satu dengan
lainnya. Ketimpangan hubungan tersebut akan bermuara pada tumpulnya stratagi
yang dibangun.
Strategi mengkaji tentang gerak langkah yang
akan diambil perusahaan dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan yang
diharapkan. Kajian tentang struktur memusatkan perhatian pada
perubahan-perubahan yang terjadi pada organisasi beserta berbagai unsur lainnya
yang terkait. Sedangkan kajian atas kultur memusatkan perhatian pada persoalan
manajemen sumber daya manusia, manajemen perubahan, kultur organisasi, dan
berbagai unsur lainnya yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Ansoff,
H. Igor. Corporate Strategy, McGraw-Hill, New York, NY, 1965.
Campbell, Andrew dan Marcus Alexander. “What’s wrong with
strategy?” Harvard Business Review, November-December 1997, pp. 2-8.
Clausewitz, Carl von. On War, Princeton University Press,
Princeton, NJ, 1989.
David, Fred R. Strategic Management, Prentice Hall
International, Inc., the Philippines, 1996.
Grant, R.M. “The resource-based theory of competitive advantage:
implications for strategy
Hunger, J. David, dan Thomas L. Wheelen. Strategic Management,
Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Massachusetts, 1996.
Jelinek,
Mariann. Institutionalizing Innovation: a study of organizational learning
systems, Praeger, New York, NY, 1979.
Kaplan,
Robert S. and David P. Norton. The Balance Scorecard, Harvard Business
School Press, Boston, Massachusetts, 1996.
Mintzberg,
Henry, Bruce Ahlstrand, and Joseph Lampel. Strategy Safari: a guided tour
through the wilds of strategic management, The Free Press, New York, NY, 1998.